Senin, 14 Februari 2011

Kisah pada Suatu Rasa


16 Desember 2009, jam 05.07-6.16 pm

Membahas cinta sama halnya melipat pelekat panjang yang tidak tahu di mana ujungnya.
Cinta terkadang membuat kita tersenyum dan memesona, namun cinta terkadang menjentik kita untuk berpikir menggabungkan konseptualisasi dengan metafor, atau membedakan abstrak dengan yang konkret.

Aku benar-benar tidak tahu apa itu cinta, bagiku hanya sebuah kata yang sering diucapkan para pecinta pada pasangannya untuk menunjukan ketertarikan dan keinginannya pada pasangannya tersebut.
Entahlah… semuanya kabur bagiku…

Aku pernah melihat orang gila karena cinta, tidak mau makan karena cinta, mau melakukan apa saja demi orang yang dicintainya, bahkan ada yang rela tidak mau hidup lagi jika tidak mendapatkan cinta.
Huuffh…. Menurutku semua sangat edan.

Dan sekarang aku merasakannya.
Namun kejujuran itu menyudutkanku, aku pun mulai ragu.

Bukanlah sesuatu yang berlebihan, jika seseorang ingin membahagiakan orang yang dicintainya dengan memenuhi semua permintaannya, merubah dirinya demi kekasih yang dicintainya. Bahkan bisa merelakan diri menjadi “perban” atau “band-aid” jika kekasih ternyata membutuhkannya.
Bukan gombal, bukan melankolis, tapi kurasa semua orang ingin melakukannya. Walaupun menyadari tak akan bisa diambilkannya bulan jika orang yang dicinta memintanya.

Terkadang aku melihat pasangan yang mencinta tersesat seperti musafir di Padang tandus. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali bertemu hati, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan. Kemudian lama baru menyadari bahwa pengalaman dan kenangan bersamanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hubungan yang diikat lama oleh seutas perasaan mutual.
 
Demi memutuskan sesuatu, para pecinta menoleh ke belakang, menghitung berapa banyak kenangan nyata yang dialami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan dan kejelasan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi. Alasan cinta yang tadinya di agungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Seorang penyair pernah mengatakan, seharusnya ada sebuah pepatah bijak yang berbunyi: “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.”

Cinta butuh pilihan dan peliharaan.
Dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta butuh sikap dan mekanisme untuk mampu bertahan.
Cinta bukanlah pikiran (logika) dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah aku dan kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar