Senin, 14 Februari 2011

Kamu Seperti Angin

“Dit, ke sekretariat BEM sekarang, ya...” rengekku manja di telepon, ”aku lagi sendirian di sini…!”
“Iya... Insya Allah lima belas menit lagi sampai, tunggu sebentar lagi, okey.” suara khasnya menggema di telingaku.
“kalau telat, awas...” Ancamku, biasanya Adit kalau sudah aku ancam seperti itu, maka tidak cukup lima belas menit, dia akan hadir di hadapanku. Kalau tidak, lima belas menit bisa jadi satu jam.
“Iya…iya… cerewet sekali sih, pokok e tunggu aja!” balas Adit diseberang sana yang belum bisa menghilangkan logat Piamannya.
Pantai Cermin Kota Pariaman, Sumatera Barat




”Cepat ya”. Tap. Suara gagang telepon ditutup diseberang sana.
Kuhela nafasku sambil menyandarkan tubuh di kursi depan komputerku, entah kenapa otakku mengelinding kembali mengingat memori tentang pertemuan pertamaku dengan Adit yang cukup mengesalkan.
Yah…aku ingat, di sekre BEM awal pertemuanku. Ketika itu, aku mengikuti rapat kerja pengurus BEM yang baru setelah diadakan open recruitment. Hampir setengah jam waktu berlalu, belum ada tanda-tanda rapat akan dimulai. Tiba-tiba teman-teman tersenyum ketika melihat sesosok makhluk yang baru datang.
“Gimana Ajo ini ha, telat lagi telat lagi.” Celetuk seorang teman.
“Iya, makanya bagi-bagi dong proyeknya, jangan makan surang se, ya nggak friend…?” seloroh yang lain.
“Tenang friend, keterlambatan Ambo sekarang karena gejala alam, ban motor ojeknya bocor.” Jawabnya dengan tawa tanpa dosa, melihat tingkahnya itu, aku jadi sangat kesal, dia masih enak tertawa tanpa rasa berdosa, setelah membuat semua orang menunggu, tapi yang aku heran, tidak ada seorangpun yang kesal seperti aku kesal padanya. Entah Kharisma apa yang ada padanya.
 Tidak berapa lama rapat pun dimulai. Pada agenda taaruf, baru kutau kalau makhluk itu bernama Alfatar Nugraho, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia BP 2003, dengan panggilan Adit. Sama dengan sikapnya yang aneh, panggilannya pun aneh, soalnya tidak nyambung dengan namanya.
Tiba-tiba pandanganku tertumpu pada monitor komputer di depanku, dan langsung sadar kalau cerpenku menunggu kelanjutannya. aku tekan keyboard komputerku  kembali untuk menyelesaikan cerpen yang belum kelar-kelar juga.
“...aku harus mencoba untuk bangkit, aku tidak akan terpuruk walau kau meninggalkanku, aku percaya akan ada  laki-laki lain yang lebih baik darimu, untukku”.
“Assalamualaikum…” kata seseorang di depan pintu dekat komputerku.
“Waalaikumsalam…” aku menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara dan masih sibuk saja mengedit dan menyimpan data yang telah ku ketik tadi.
“Maaf, mau cari si…?” aku menoleh dan tiba-tiba kerongkonganku tersekat, aku tidak bisa melanjutkan kata-kata setelah melihat sesosok tubuh yang berdiri di depan pintu, yang pernah, bukan… bukan….
Belum sampai urat sarafku berjalan dengan maksimal, dia menyentakanku.
“Cici..” sapanya membuatku tersentak dari lamunan sesaat.
“Oh ya, silahkan masuk,” ujarku. “Maaf, ruangannya sedikit berantakan,” Basa-basiku padanya yang mungkin sudah basi juga. Tanpa menoleh, aku beranjak merapikan ruangan sekretariat yang seperti kapal pecah ini secepat mungkin, secepat aku bisa menguasai hatiku dari tebaran kenangan indah yang terus menyesak jiwa. kemudian menuju dapur sekretariat untuk membuatkannya secangkir teh.
“Silahkan diminum! Oya, ada yang bisa aku bantu”. Ujarku.
“Cici...” katanya mencoba membuyarkan lamunanku.
“Iya, apa kabar?” Ujarku mencoba mencairkan suasana
“Apa kamu masih marah padaku, mengenai masalah yang…?” Katanya.
“Marah? Kenapa musti marah?” potongku, “Memangnya aku kelihatan seperti orang yang sedang marah!” Ujarku menimpali tanpa memberi dia waktu untuk melanjutkan kata-katanya yang kutahu bisa membuat hati ini perih lagi.
Dia terdiam, menunduk. Sesaat kumelihat wajahnya. Tampaklah olehku rona kesedihan di wajahnya, walaupun aku melihat tidak cukup jelas, tapi aku dapat merasakan kepedihan yang mendalam, lama… lama sekali terpendam.
“Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu”. Kata-katanya itu kembali membuatku teringat peristiwa tahun lalu. Dia memutuskanku, memutuskan hubungan yang sudah cukup lama berjalan, hanya karena masalah yang kuanggap terlalu dibesar-besarkan, dan yang paling membuatku kesal dia memutuskanku  hanya melalui sebuah Short Message.
“Keluargaku ingin yang terbaik, dan aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Sekarang aku ingin kamu yang memutuskan semuanya karena aku tidak mau menyakiti kamu, masih banyak laki-laki lain yang lebih baik untukmu”.
Berulangkali kubaca pesan itu untuk meyakinkan diri ini. Aku sangat terkejut. Hati dan pikiranku tidak percaya dengan kenyataan yang kuterima. Aku sangat menyayanginya dan aku juga yakin dia sangat menyayangiku. Ya, aku sadar, kalau hubungan kami tidak berjalan dengan normal, kita hanya bisa berjumpa lewat suara, tanpa bisa bertemu walau hanya untuk menatap wajah teduhnya. Aku juga ingat, dia pernah mengatakan bahwa hubungan kami tidak disetujui orang tuanya. Aku tahu itu, orang tuanya pasti tidak mau kuliah anaknya terganggu oleh hubungan kami, apalagi ditambah dengan biaya interlokal sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu yang dikeluarkan oleh anaknya. Yah, hubungan jarak jauh.
Sekarang dia kembali hadir di hadapanku, setelah sekian lama pergi demi meraih cita-citanya kuliah di kota metropolitan yang banyak terdapat godaan itu. Sekarang apa yang harus kulakukan? oh.. Tuhan, tolonglah aku!
“Ci…maafkan Iyo!” desah cowok itu. Yah.. nama cowok itu Rio, tapi dia biasa memanggil dirinya Iyo, begitu juga aku namaku Melci tapi aku suka dipanggil Cici.
“Ci… sorry, aku tidak sedikitpun bermaksud untuk menyakiti hati ici, tapi….”
“Ah…sudahlah Yo!” Kataku, memutuskan pembicaraanya. Dia masih plin-plan seperti dulu, tidak bisa menetapkan sapaan dirinya. Kadang memanggil “Iyo”, kadang pakai “Aku”. “Yo... masalah itu tidak perlu dibicarakan lagi, kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”
“Tapi Ci…” bantah Rio, “Kamu tidak tahu perasaanku waktu itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Sudahlah..Yo, tak ada gunanya kamu mengungkit masalah itu lagi Toh, tidak akan merubah kenyataankan?”
“Ci…. Aku mencintaimu.” Desahnya pelan.
Tiba-tiba dia memegang tanganku, meremas jemariku, dan menatapku dengan tatapan elangnya.
“Ci…, aku kacau, aku tak tahu harus berbuat apa ketika mama menyuruhku untuk memutuskanmu. Hatiku lebur berkeping saat itu.
Aku hanya bisa tertunduk mendengar penuturan mantan kekasihku itu.
“Ci, sampai sekarang, aku belum bisa mendapatkan pengganti dirimu, tapi aku yakin kamu sudah mendapatkan pengganti diriku.” Sambungnya dengan desahan yang panjang dan suara sedikit bergetar.
Aku hanya mampu menunduk, desahan yang keluar dari bibirnya itu, semakin membuatku merasa sedih, dan memaksaku mengeluarkan butiran mutiara bening yang sejak tadi kucoba untuk membendungnya.
“Itulah sebabnya aku memutuskanmu lewat SMS, aku tidak sanggup menatap butiran air mata membasahi pipimu. Bagiku, kau cewek terbaik yang pernah kukenal.”
Aku luluh, aku terpedaya oleh ucapannya apalagi mendengars desahan jiwanya yang meronta. Tapi cepat aku sadar, karena sekarang aku sudah memiliki Adit, orang yang selama ini menyayangiku dengan ketulusan dan menghiasi hari-hariku dengan senyum dan kekonyolannya serta pemikirannya yang topcer abizz. Aku yakinkan hatiku, perasaan ini tidak boleh berlarut dalam diriku. Aku harus kuat. Tiba-tiba hentakan keras dalam hatiku membuatku tersentak dan sadar. Kutarik tanganku dari genggamanya, kuhapus air mataku dan kucoba untuk menguasai diri kembali.
Pikiranku berkecamuk, aku teringat teori keep your eyes contact plus smile yang kubaca di buku ESQ Powernya Ary Ginanjar. Badan kutegakkan, dorong beberapa senti ke depan. Kuberanikan diri untuk menatap matanya dengan tatapan soft, kutarik nafas dan dengan senyum kuberkata: “Yo, masalah ini jangan dibicarakan lagi, Ci pikir jalan kita sudah berbeda. Kita tidak mungkin lagi bersama, Yo sudah memilih mengakhiri hubungan kita. maka Yo harus menerima resiko dari setiap tindakan itu, “ Hidup itu penuh resiko, jika kita tak mau menghadapi resiko, berarti kita tidak hidup.” Deg. Sebuah kalimat pamungkas yang kudapatkan dari Adit ketika dia mencoba mengangkatku dari keterpurukan.
Rio langsung mendongakan wajah, “Aku tahu kamu sudah tidak mencintaiku lagikan,” ujarnya. Kemudian dia langsung membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop yang ditujukan untuk sekre BEM kampusku. Tiba-tiba dia beranjak pergi tanpa bicara sepatah katapun meninggalkanku dalam kebingungan, apa gunanya dia mengatakan cinta, kalau toh akan seperti ini. Rio…Rio…aku benar-benar telah merasakan perubahan yang amat sangat dalam dirimu. Kamu seperti angin yang menyejukkanku sesaat, serta yang bisa membuatku terpedaya jikaku tak waspada.
Ting..ting.. aku tiba-tiba mendengar bunyi HP, sebuah Sony Ericson tipe terbaru tergeletak persis dimana Rio duduk tadi, kuambil HP itu rupanya 1 message receive tertera dalam layar ponselnya dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk tidak membuka SMS tersebut.
“Sayang…kamu lagi dimana? Dah ma’am belum? Oya suratnya dah dianterinkan? Good luck.. l luv u.”
Wow… Rio, aku tahu siapa dirimu sekarang, untung saja aku tidak terpedaya, jauh di ujung jalan aku melihat Adit menuju kearahku.***(Fia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar