Minggu, 20 Februari 2011

Blog hamba: Jangan main-main friends!

Blog hamba: Jangan main-main friends!: "Pernah ga’ sih kamu menjalin sebuah hubungan pacaran yang niat awalnya hanya untuk main-main atau ber..."

Jangan main-main friends!


Pernah ga’ sih kamu menjalin sebuah hubungan pacaran yang niat awalnya hanya untuk main-main atau bermodalkan coba-coba saja? Kalau pernah jangan lagi dech. Bagi yang sudah pernah melakukannya tentu telah merasakan bagaimana dampak fositif maupun negatifnya. Tapi menurut saya lebih banyak dampak negatifnya deh. Iya khan?
Bagi kamu yang sedang menjalani hubungan seperti ini, yang niat awal pacarannya hanya untuk jaga gengsi kamu aja, atau karena ditantang oleh seorang teman, atau juga karena kamu malu sama teman-teman soalnya diantara mereka hanya  kamu sendiri yang belum punya pacar!
Ternyata, kalau memang ini yang kamu rasakan, lebih baik sekarang mulai intropeksi deh. Jika kamu sudah terlanjur melakukan ini, selami hatimu dan gunakan logika apa yang sudah kamu lakukan ini terbaik untuk kamu, atau apakah dengan tindakan kamu ini nantinya tidak akan menyakiti diri kamu dan korban kamu itu, terlalu sadis ya bahasanya..he.. (maksudnya orang yang jadi pacar kamu, red).
Jangan sampai kita menyesal dengan apa yang sudah kita rasakan dan lakukan. Karena kamu tidak serius, setiap kamu pacaran hanya bartahan seumur jagung saja, karena gengsi lagi, lalu kamu cari pacar lagi. Kalau ini sering terjadi imeg kamu di depan teman-teman kamu akan jelek. Kamu akan dicap sebagai seorang playgirl yang sering gonta-ganti cowok (ga’ maukan dibilang seperti itu?).
 Pacaran yang awalnya hanya untuk main-main, ternyata setelah putus barulah kita merasakan kalau kita itu sayang. Uniknya kita baru menyadari kalau kita putus itu atas kesalahan kita yang tidak serius menjalani hubungan itu. Sama halnya jika kita tidak serius mencintai sesuatu maka dikala dia tidak kita miliki lagi, maka kita akan merasa sangat kehilangan. Kita akan membutuhkan setelah kita kehilangannya.
Begitu juga dalam berpacaran, jika kita tidak benar-benar sayang sama dia dan kita tidak yakin dia terbaik untuk kita. Maka jangan coba-coba untuk menerima dia menjadi pacar kita. Apalagi kalau dia bukan tipe yang kita inginkan. Pepatah Jawa ada mengatakan “Cinta bisa datang karena sering bertemu”. Disaat cinta itu datang, kita tidak menyadari bahwa dia telah berada dihati kita. Kita tetap tidak serius menjalani hubungan itu. Kemudian setelah semuanya berakhir karena pasangan kita telah bosan dan muak dengan sikap kita, barulah kita tahu kalau kita telah benar-banar sayang sama dia.
Kita menjadi cinta karena sering bertemu, Inilah mungkin yang tidak kita sadari. Lama-kelamaan tumbuh rasa membutuhkan kita terhadap dirinya dan saat dia pergi maka kita akan kehilangannya.
Untuk itu, mulai sekarang cobalah untuk serius dan tidak main-main dalam berhubungan. Pahami kelebihan dan kekurangannya, bahkan cobalah untuk mencintai kekurangan pasangan kita itu, yakinlah bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Ingat…! Kesempurnaan adalah sesuatu yang dicintai, namun mencintai sesuatu yang tidak sempurna akan lebih mulia jika kesempurnaan cinta mampu membuatnya menjadi sempurna. Key. Good Luck…
So… Jangan pernah main-main…..                                    
By Mira Elfia

Senin, 14 Februari 2011

BINTANG ITU


Sekarang aku akan bercerita kepadamu tentang kisah cinta Bintang terhadap Bulan.
Suatu hari sebuah Bintang bicara pada Bulan “Aku tidak ingin lagi menemanimu mulai malam ini dan seterusnya.” Katanya.
“Kenapa?” tanya Bulan, “Padahal aku menyukaimu, aku nyaman bila kau ada di sampingku, aku senang pada malam-malam dimana kau ada dan menemaniku hingga fajar menjelang.”
Tetapi Bintang itu hanya tersenyum, meredup dan bersembunyi di balik mega. Justru karena Bulan menyukainya, Bintang itu menghilang.
Cinta memang aneh, bukankah seharusnya ia mempersatukan? Bintang itu mencintai Bulan. Tetapi Bulan tidak mencintainya, ia hanya ‘menyukainya’. Siapa pula yang membeda-bedakan cinta dengan suka?
Kenapa Bulan tidak membencinya saja, malah menyukainya sehingga Bintang menjadi tidak punya alasan untuk tidak menemaninya pada malam-malam harinya.
Bintang yang sinarnya paling terang adalah bintang yang berwarna biru.
Bintang yang sedang kuceritakan ini hanyalah sebuah bintang kecil yang bewarna merah. Karena itu ia tidak pernah dapat mengumpulkan keberanian untuk berkata pada Bulan “Aku mencintaimu!” atau “Aku menginginkanmu!”.
Bulan sendiri tidak pernah menganggap Bintang sebagai lebih dari sahabat baik, teman dekat yag selalu menemaninya setiap malam, dan sesungguhnya Bintang pun mengetahui itu.
“Aku mencintai Matahari” kata Bulan. “Ia dapat membuatku bersinar indah di waktu malam. Ia membuatku selalu ditunggu para pecinta malam. Ia membuatku selalu dinanti para pujangga yang ingin menulis bait puisi hanya dengan melihatku.” Ujar Bulan menjelaskan.
Bintang tak pernah habis berpikir kenapa Bulan mencintai Matahari, Bulan jarang bahkan hampir tak pernah bertemu dengan Matahari, dan ketika bertemu pun Bulan akan kehilangan sinarnya, yaitu saat terjadi gerhana bulan.
Mungkin Matahari malah mencintai Bumi. Aku tidak tahu karena aku tidak pernah berbincang-bincang dengan Matahari bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi sejujurnya aku tidak terlalu mempedulikan ini.
Bintang merasa tidak mendapat keadilan. Kenapa Bulan mencintai Matahari yang mungkin tidak pernah memikirkan Bulan, dan bukan mencintai Bintang yang jelas-jelas mencintainya dengan sepenuh hati? Bintang juga merasa tak berdaya, kerana walaupun ia ingin memberikan seluruh sinarnya kepada Bulan agar selalu bercahaya kemilau, Bintang tak dapat melakukanya karena memang dia tak tahu caranya dan jarak diantara mereka sangat jauh.
Matahari sebenarnya juga Bintang, bintang merah yang sama seperti dirinya. Karena letaknya lah Matahari dapat terlihat lebih terang dari pada Bintang.
Tapi Bintang bukanlah Matahari, karena itu Bulan tidak mencintai Bintang.
Cinta memang aneh. Karena itu sekali lagi Bintang berkata pada semua teman-temannya “Aku tidak ingin lagi menemani Bulan mulai malam ini!”.
Tapi ternyata pada malam-malam berikutnya, Bintang masih dengan setia menemaninya, meski terkadang Bulan tidak menyadarinya.
Dan sekarang aku akan memberi tahu, bahwa BINTANG ITU ADALAH AKU.
        
    Kamar Koe, 16 Des 2009. By Fhiya
dari berbagai sumber

Kamu Seperti Angin

“Dit, ke sekretariat BEM sekarang, ya...” rengekku manja di telepon, ”aku lagi sendirian di sini…!”
“Iya... Insya Allah lima belas menit lagi sampai, tunggu sebentar lagi, okey.” suara khasnya menggema di telingaku.
“kalau telat, awas...” Ancamku, biasanya Adit kalau sudah aku ancam seperti itu, maka tidak cukup lima belas menit, dia akan hadir di hadapanku. Kalau tidak, lima belas menit bisa jadi satu jam.
“Iya…iya… cerewet sekali sih, pokok e tunggu aja!” balas Adit diseberang sana yang belum bisa menghilangkan logat Piamannya.
Pantai Cermin Kota Pariaman, Sumatera Barat




”Cepat ya”. Tap. Suara gagang telepon ditutup diseberang sana.
Kuhela nafasku sambil menyandarkan tubuh di kursi depan komputerku, entah kenapa otakku mengelinding kembali mengingat memori tentang pertemuan pertamaku dengan Adit yang cukup mengesalkan.
Yah…aku ingat, di sekre BEM awal pertemuanku. Ketika itu, aku mengikuti rapat kerja pengurus BEM yang baru setelah diadakan open recruitment. Hampir setengah jam waktu berlalu, belum ada tanda-tanda rapat akan dimulai. Tiba-tiba teman-teman tersenyum ketika melihat sesosok makhluk yang baru datang.
“Gimana Ajo ini ha, telat lagi telat lagi.” Celetuk seorang teman.
“Iya, makanya bagi-bagi dong proyeknya, jangan makan surang se, ya nggak friend…?” seloroh yang lain.
“Tenang friend, keterlambatan Ambo sekarang karena gejala alam, ban motor ojeknya bocor.” Jawabnya dengan tawa tanpa dosa, melihat tingkahnya itu, aku jadi sangat kesal, dia masih enak tertawa tanpa rasa berdosa, setelah membuat semua orang menunggu, tapi yang aku heran, tidak ada seorangpun yang kesal seperti aku kesal padanya. Entah Kharisma apa yang ada padanya.
 Tidak berapa lama rapat pun dimulai. Pada agenda taaruf, baru kutau kalau makhluk itu bernama Alfatar Nugraho, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia BP 2003, dengan panggilan Adit. Sama dengan sikapnya yang aneh, panggilannya pun aneh, soalnya tidak nyambung dengan namanya.
Tiba-tiba pandanganku tertumpu pada monitor komputer di depanku, dan langsung sadar kalau cerpenku menunggu kelanjutannya. aku tekan keyboard komputerku  kembali untuk menyelesaikan cerpen yang belum kelar-kelar juga.
“...aku harus mencoba untuk bangkit, aku tidak akan terpuruk walau kau meninggalkanku, aku percaya akan ada  laki-laki lain yang lebih baik darimu, untukku”.
“Assalamualaikum…” kata seseorang di depan pintu dekat komputerku.
“Waalaikumsalam…” aku menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara dan masih sibuk saja mengedit dan menyimpan data yang telah ku ketik tadi.
“Maaf, mau cari si…?” aku menoleh dan tiba-tiba kerongkonganku tersekat, aku tidak bisa melanjutkan kata-kata setelah melihat sesosok tubuh yang berdiri di depan pintu, yang pernah, bukan… bukan….
Belum sampai urat sarafku berjalan dengan maksimal, dia menyentakanku.
“Cici..” sapanya membuatku tersentak dari lamunan sesaat.
“Oh ya, silahkan masuk,” ujarku. “Maaf, ruangannya sedikit berantakan,” Basa-basiku padanya yang mungkin sudah basi juga. Tanpa menoleh, aku beranjak merapikan ruangan sekretariat yang seperti kapal pecah ini secepat mungkin, secepat aku bisa menguasai hatiku dari tebaran kenangan indah yang terus menyesak jiwa. kemudian menuju dapur sekretariat untuk membuatkannya secangkir teh.
“Silahkan diminum! Oya, ada yang bisa aku bantu”. Ujarku.
“Cici...” katanya mencoba membuyarkan lamunanku.
“Iya, apa kabar?” Ujarku mencoba mencairkan suasana
“Apa kamu masih marah padaku, mengenai masalah yang…?” Katanya.
“Marah? Kenapa musti marah?” potongku, “Memangnya aku kelihatan seperti orang yang sedang marah!” Ujarku menimpali tanpa memberi dia waktu untuk melanjutkan kata-katanya yang kutahu bisa membuat hati ini perih lagi.
Dia terdiam, menunduk. Sesaat kumelihat wajahnya. Tampaklah olehku rona kesedihan di wajahnya, walaupun aku melihat tidak cukup jelas, tapi aku dapat merasakan kepedihan yang mendalam, lama… lama sekali terpendam.
“Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu”. Kata-katanya itu kembali membuatku teringat peristiwa tahun lalu. Dia memutuskanku, memutuskan hubungan yang sudah cukup lama berjalan, hanya karena masalah yang kuanggap terlalu dibesar-besarkan, dan yang paling membuatku kesal dia memutuskanku  hanya melalui sebuah Short Message.
“Keluargaku ingin yang terbaik, dan aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Sekarang aku ingin kamu yang memutuskan semuanya karena aku tidak mau menyakiti kamu, masih banyak laki-laki lain yang lebih baik untukmu”.
Berulangkali kubaca pesan itu untuk meyakinkan diri ini. Aku sangat terkejut. Hati dan pikiranku tidak percaya dengan kenyataan yang kuterima. Aku sangat menyayanginya dan aku juga yakin dia sangat menyayangiku. Ya, aku sadar, kalau hubungan kami tidak berjalan dengan normal, kita hanya bisa berjumpa lewat suara, tanpa bisa bertemu walau hanya untuk menatap wajah teduhnya. Aku juga ingat, dia pernah mengatakan bahwa hubungan kami tidak disetujui orang tuanya. Aku tahu itu, orang tuanya pasti tidak mau kuliah anaknya terganggu oleh hubungan kami, apalagi ditambah dengan biaya interlokal sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu yang dikeluarkan oleh anaknya. Yah, hubungan jarak jauh.
Sekarang dia kembali hadir di hadapanku, setelah sekian lama pergi demi meraih cita-citanya kuliah di kota metropolitan yang banyak terdapat godaan itu. Sekarang apa yang harus kulakukan? oh.. Tuhan, tolonglah aku!
“Ci…maafkan Iyo!” desah cowok itu. Yah.. nama cowok itu Rio, tapi dia biasa memanggil dirinya Iyo, begitu juga aku namaku Melci tapi aku suka dipanggil Cici.
“Ci… sorry, aku tidak sedikitpun bermaksud untuk menyakiti hati ici, tapi….”
“Ah…sudahlah Yo!” Kataku, memutuskan pembicaraanya. Dia masih plin-plan seperti dulu, tidak bisa menetapkan sapaan dirinya. Kadang memanggil “Iyo”, kadang pakai “Aku”. “Yo... masalah itu tidak perlu dibicarakan lagi, kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”
“Tapi Ci…” bantah Rio, “Kamu tidak tahu perasaanku waktu itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Sudahlah..Yo, tak ada gunanya kamu mengungkit masalah itu lagi Toh, tidak akan merubah kenyataankan?”
“Ci…. Aku mencintaimu.” Desahnya pelan.
Tiba-tiba dia memegang tanganku, meremas jemariku, dan menatapku dengan tatapan elangnya.
“Ci…, aku kacau, aku tak tahu harus berbuat apa ketika mama menyuruhku untuk memutuskanmu. Hatiku lebur berkeping saat itu.
Aku hanya bisa tertunduk mendengar penuturan mantan kekasihku itu.
“Ci, sampai sekarang, aku belum bisa mendapatkan pengganti dirimu, tapi aku yakin kamu sudah mendapatkan pengganti diriku.” Sambungnya dengan desahan yang panjang dan suara sedikit bergetar.
Aku hanya mampu menunduk, desahan yang keluar dari bibirnya itu, semakin membuatku merasa sedih, dan memaksaku mengeluarkan butiran mutiara bening yang sejak tadi kucoba untuk membendungnya.
“Itulah sebabnya aku memutuskanmu lewat SMS, aku tidak sanggup menatap butiran air mata membasahi pipimu. Bagiku, kau cewek terbaik yang pernah kukenal.”
Aku luluh, aku terpedaya oleh ucapannya apalagi mendengars desahan jiwanya yang meronta. Tapi cepat aku sadar, karena sekarang aku sudah memiliki Adit, orang yang selama ini menyayangiku dengan ketulusan dan menghiasi hari-hariku dengan senyum dan kekonyolannya serta pemikirannya yang topcer abizz. Aku yakinkan hatiku, perasaan ini tidak boleh berlarut dalam diriku. Aku harus kuat. Tiba-tiba hentakan keras dalam hatiku membuatku tersentak dan sadar. Kutarik tanganku dari genggamanya, kuhapus air mataku dan kucoba untuk menguasai diri kembali.
Pikiranku berkecamuk, aku teringat teori keep your eyes contact plus smile yang kubaca di buku ESQ Powernya Ary Ginanjar. Badan kutegakkan, dorong beberapa senti ke depan. Kuberanikan diri untuk menatap matanya dengan tatapan soft, kutarik nafas dan dengan senyum kuberkata: “Yo, masalah ini jangan dibicarakan lagi, Ci pikir jalan kita sudah berbeda. Kita tidak mungkin lagi bersama, Yo sudah memilih mengakhiri hubungan kita. maka Yo harus menerima resiko dari setiap tindakan itu, “ Hidup itu penuh resiko, jika kita tak mau menghadapi resiko, berarti kita tidak hidup.” Deg. Sebuah kalimat pamungkas yang kudapatkan dari Adit ketika dia mencoba mengangkatku dari keterpurukan.
Rio langsung mendongakan wajah, “Aku tahu kamu sudah tidak mencintaiku lagikan,” ujarnya. Kemudian dia langsung membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop yang ditujukan untuk sekre BEM kampusku. Tiba-tiba dia beranjak pergi tanpa bicara sepatah katapun meninggalkanku dalam kebingungan, apa gunanya dia mengatakan cinta, kalau toh akan seperti ini. Rio…Rio…aku benar-benar telah merasakan perubahan yang amat sangat dalam dirimu. Kamu seperti angin yang menyejukkanku sesaat, serta yang bisa membuatku terpedaya jikaku tak waspada.
Ting..ting.. aku tiba-tiba mendengar bunyi HP, sebuah Sony Ericson tipe terbaru tergeletak persis dimana Rio duduk tadi, kuambil HP itu rupanya 1 message receive tertera dalam layar ponselnya dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk tidak membuka SMS tersebut.
“Sayang…kamu lagi dimana? Dah ma’am belum? Oya suratnya dah dianterinkan? Good luck.. l luv u.”
Wow… Rio, aku tahu siapa dirimu sekarang, untung saja aku tidak terpedaya, jauh di ujung jalan aku melihat Adit menuju kearahku.***(Fia)

Kisah pada Suatu Rasa


16 Desember 2009, jam 05.07-6.16 pm

Membahas cinta sama halnya melipat pelekat panjang yang tidak tahu di mana ujungnya.
Cinta terkadang membuat kita tersenyum dan memesona, namun cinta terkadang menjentik kita untuk berpikir menggabungkan konseptualisasi dengan metafor, atau membedakan abstrak dengan yang konkret.

Aku benar-benar tidak tahu apa itu cinta, bagiku hanya sebuah kata yang sering diucapkan para pecinta pada pasangannya untuk menunjukan ketertarikan dan keinginannya pada pasangannya tersebut.
Entahlah… semuanya kabur bagiku…

Aku pernah melihat orang gila karena cinta, tidak mau makan karena cinta, mau melakukan apa saja demi orang yang dicintainya, bahkan ada yang rela tidak mau hidup lagi jika tidak mendapatkan cinta.
Huuffh…. Menurutku semua sangat edan.

Dan sekarang aku merasakannya.
Namun kejujuran itu menyudutkanku, aku pun mulai ragu.

Bukanlah sesuatu yang berlebihan, jika seseorang ingin membahagiakan orang yang dicintainya dengan memenuhi semua permintaannya, merubah dirinya demi kekasih yang dicintainya. Bahkan bisa merelakan diri menjadi “perban” atau “band-aid” jika kekasih ternyata membutuhkannya.
Bukan gombal, bukan melankolis, tapi kurasa semua orang ingin melakukannya. Walaupun menyadari tak akan bisa diambilkannya bulan jika orang yang dicinta memintanya.

Terkadang aku melihat pasangan yang mencinta tersesat seperti musafir di Padang tandus. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali bertemu hati, berusaha saling toleransi atas nama cinta dan perjuangan. Kemudian lama baru menyadari bahwa pengalaman dan kenangan bersamanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hubungan yang diikat lama oleh seutas perasaan mutual.
 
Demi memutuskan sesuatu, para pecinta menoleh ke belakang, menghitung berapa banyak kenangan nyata yang dialami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan dan kejelasan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi. Alasan cinta yang tadinya di agungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
Seorang penyair pernah mengatakan, seharusnya ada sebuah pepatah bijak yang berbunyi: “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.”

Cinta butuh pilihan dan peliharaan.
Dalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta butuh sikap dan mekanisme untuk mampu bertahan.
Cinta bukanlah pikiran (logika) dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah aku dan kamu.