Selasa, 09 Desember 2014

Keikhlasan Berbuah Kebaikan



Namanya Sudir, ia seorang anak yang rajin, baik hati, tidak sombong dan selalu ramah pada orang lain. Oleh karena itulah setiap orang di kampungnya sangat menyayanginya. Namun sayang kehidupannya sangat sederhana. Walaupun begitu ia tetap berbahagia.
Sudir tinggal di gubuk tua, disebuah desa yang cukup terpencil dan jauh dari kota. Setiap sore Sudir selalu menggembalakan kambing-kambingnya di padang rumput di sebelah utara desa. Ayahnya dengan susah payah selalu merawat kebun-kebun sayurnya di samping rumah, begitu juga ibunya selalu menanakkan nasi untuk makan mereka sehari-hari.
Suatu hari sepulang menggembalakan kambingnya, tiba-tiba kaki Sudir terantuk oleh suatu benda, segera diambilnya bungkusan itu, tanpa pikir panjang benda itu dirabanya,  barulah diketahuinya bahwa ia menemukan beberapa butir mata. Dengan bergetar dan rasa bahagia yang tiada tara, langsung saja dihitungnya mata-mata yang berada di tangannya. Ada lima butir mata.
Dua butir dipasangkannya pada kedua rongga matanya. Lalu ia berjalan pulang dengan bahagianya. Tapi tiba-tiba ia jadi termangu, dia baru menyadari kalau ia hanya memeiliki tiga butir mata lagi, sementara ayahnya memerlukan dua mata begitu juga ibunya. Ia akhirnya jadi bingung sendiri, kepada siapakah ia harus menyerahkan dua buah mata lagi, jika ia serahkan pada ibunya maka ayahnya hanya akan memiliki satu mata sementara tugas ayahnya sangat berat dalam mengurusi kebun-kebun sayurnya, sementara itu jika dua buah mata ia serahkan pada ayahnya, maka ia merasa tidak tega pada ibunya jika hanya memiliki satu mata saja. Jadilah Sudir semakin bingung sendiri.
Sesampainya dirumah dia langsung memangil ayah dan ibunya, lalu menyerahkan masing-masing satu buah mata pada ayah dan ibunya. Mulai sekarang keluarga itu sudah bisa melihat walau ayah dan ibu hanya punya masing-masing satu mata saja.
Sudir menjadi semakin bingung sendiri, kepada siapa harus diserahkannya satu mata lagi. Sementara jika satu mata lagi dibiarkanya tidak terpakai, hal itu akan mubazir. Karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, dibukanya satu matanya kemudian diserahkan satu pada ayahnya dan satu lagi pada ibunya. Demi ayah dan ibunya dia rela hanya memakai satu mata saja katanya dalam hati.
Satu minggu berlalu, semuanya berjalan seperti biasa, ayah bekerja di kebun, ibu mmemasak nasi di dapur dan Sudir menggembalakan kambingnya, tentu saja semuanya berjalan lebih mudah karena mereka sudah bisa melihat.
Oleh karena itulah timbul keinginan dalam diri Sudir untuk pergi merantau untuk mengubah nasib keluarganya, Sudir minta izin pada ibunya, awalnya permintaan Sudir itu tidak disetujui ibunya, namun Sudir sudah bertekad untuk melakukan niat dihatinya tersebut. Karena keinginan yang kuat itulah akhirnya ibunya menyetujui permintaan anak semata wayangnya.
Besoknya pagi-pagi sekali Sudir sudah berangkat meninggalkan rumah, dia merasa sedih sekali harus meninggakan kedua orang tuanya. Dia berjalan melewati hutan-hutan belantara, hal itu dilakukanya demi bisa menbahagiakan kedua orang tua yang sangat dicintainya.
Ketika melewati sebuah hutan, tiba-tiba Sudir dikejutkan oleh pekik Ayam hutan. Mendengar itu Sudir langsung saja mencari dimana letak sumber suara, ternyata suara itu tidak jauh dari tempat Sudir berdiri. Alangkah terkejutnya Sudir ketika melihat ayam tersebut sedang berada dalam cengkraman paruh burung elang. Melihat Sudir ada di situ, si ayam langsung minta tolong sama Sudir, “hai manusia tolong lepaskan cengkraman burung elang ini dari leherku,” kata Ayam dengan nada sedih.
Menyaksikan itu semua Sudir tidak sampai hati, dia tentu tidak bisa membiarkan mahkluk itu teraniaya. Karena Sudir merasa sesama makluk hidup itu harus tolong menolong. Sudir tidak bisa membiarkan ayam itu mati dimakan oleh elang tersebut.
Akhirnya tanpa pikir panjang Sudir langsung menolong si ayam dari cengkaraman burung elang sehingga si ayam bisa tebebas. Karena ketakutan, si ayam langsung pergi setelah mengucapkan terimakasih pada Sudir. Sekarang tinggallah berdua Sudir dan si elang yantg sedang kelaparanan.
“karena kau telah melepaskan dan membiarkan pergi makanan yang akan aku makan, maka aku meminta padamu untuk memberikan sekepal daging pahamu untuk peganjal perutku ini. Kau tentu tidak mau membiarkan aku mati kelaparankan? Ujar si elang sambil bertanya dengan nada sedih.
Akhirnya dengan penuh keikhlasan Sudir langsung menyayat daging pahanya untuk diberikan pada si elang. Setelah perutnya kenyang, si elang memberikan selembar daun pada si Sudir, “usapkanlah daun itu pada pahamu, agar darahnya berhenti dan luka itu segera sembuh.” Ujar si elang. Ternyata benar, luka Sudir sekejab menghilang tanpa bekas. “Untuk kau ketahui, daun yang kau pegang itu daun ajaib. Dia bisa menyembuhkan segala macam penyakit.” Ujar si elang lagi. Kemudian Sudir pun mengusapkan daun itu pada satu lagi matanya yang tidak bisa melihat, mata itu pun akhirnya bisa sembuh dan dapat melihat dengan baik.
Setelah itu si elang langsung pergi dan Sudir pun segera melanjutkan perjalanannya. Sampailah ia di sebuah kerajaan, Sudir merasa sangat senang sekali karena telah lelah tinggal di hutan selama di perjalanan. Tapi Sudir tidak menduga bahwa kerajaan itu sekarang sedang dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Di kerajaan itu orang-orang tidak bisa merasakan perbedaan siang dan malam, sepanjang hari kerajaan tersebut terus menerus gelap. Matahari tidak bisa muncul dari ufuk timur.
Sudir bigung apa yang harus dilakukanya untuk menyelamatkan kerajaan tersebut. Tiga hari setelah itu, Sudir mendengar sayembara dari raja. Barang siapa yang bisa memusnahkan kutukan penyihir tersebut maka akan diberi hadiah, sebagai hadiahnya yaitu putri raja yang cantik jelita.
Malamya saat Sudir sedang tidur, dia pun bermimpi bertemu lagi dengan ayam hutan yang pernah ditolongannya dulu, “Besok, pagi-pagi kau datang saja ke galanggang sayembara itu, aku akan berkokok di sana, mudah-mudahan kutukan penyihir itu bisa hilang” ujar si ayam.
Pagi-pagi Sudir pun datang ke galanggang, ayam pun menepati janjinya. Dia berkokok dengan kerasnya, dan tak lama setelah itu, matahari yang ditunggu-tunggu akhirnya mulai muncul dari ufuk timur. Sehingga semua penduduk desa kini bisa merasakan siang lagi.
Melihat itu Sudir sangat berterima kasih pada ayam yang pernah ditolongnya dulu, ternyata ayam itu adalah ayam jelmaan dewa. Sudir merasa sangat senang bisa berbuat baik pada semua warga di sana dan terlebih lagi Sudir bisa mendapatkan istri yang cantik Jelita, putri dari raja tersebut.
Karena raja sudah tua maka Sudir dinobatkan sebagai pengganti raja tersebut. Sudir pun segera menjemput kedua orang tuanya di desa dan mengajaknya tinggal bersamanya di istana. Akhirnya mereka semua hidup berbahagia. Keikhlasan yang dilakukan Sudir benar-benar berbuah kebaikan untuk dirinya dan untuk keluarganya.*** Mira Elfia

Berikan Pelayanan Prima Sesuai Kewenangan dan Kompetensi

Bidan adalah salah satu profesi yang mulia. Seorang bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di tengah masyarakat. Tugas dan tanggung jawab bidan pun tidak mudah karenanya bidan harus memiliki dedikasi tinggi, handal, dan profesional.
Itu pula yang dilakukan dan dirasakan Tiara Sally, Bidan Puskesmas Air Santok, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman.
Menurut Sally, begitu ia akrab disapa, membantu ibu-ibu hamil melakukan persalinan dan melihat kehadiran bayi mungil dari perut bundanya itu merupakan kepuasan tersendiri bagi seorang bidan.
Menjalani profesi sebagai bidan, bagi Sally sudah merupakan cita-citanya dari kecil. “Inspirasi itu mungkin datang dari papa yang juga berprofesi sebagai tenaga medis,” ujar anak dari pasangan Drg. H. Johnny Basri dan Hj. Suarni Murad, S.H. M.Pd.
Sally mengungkapkan, menyenangkan sekali menjadi seorang bidan karena bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat terutama ibu-ibu dan balita, serta kebahagiaan bisa berbagi ilmu dengan orang lain. “Salah satu peran bidan adalah mampu memberikan edukasi dan menyampaikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kesehatan.” Ujarnya (16/6).
Di luar aktivitasnya sebagai seorang bidan, wanita yang selalu terlihat trendy ini adalah seorang ibu muda yang cukup telaten dan cekatan dalam mengasuh dan mendidik buah hatinya, berkah pernikahannya dengan Riswadi, S.E. “Bagi saya, anak dan keluarga adalah hal yang utama karena di tangan ibu-ibu seperti kitalah terletak masa depan dan pendidikan para generasi penerus bangsa.” ujar bidan yang telah mengaplikasikan pola pemberiaan ASI Eksklusif selama 0-6 bulan dan ASI 2 tahun untuk putra tercintanya.
Ke depan Sally berkeinginan, sebagai seorang bidan, dia akan memberikan pelayanan prima dan berkualitas kepada masyarakat, terutama ibu dan anak sesuai dengan kewenangan dan kompetensinya. “Yang penting selalu lakukan dan berikan yang terbaik.” ungkapnya sambil tersenyum ramah.
(*)Mira Elfia
Note. Profil ini dipublikasikan dalam Majalah Tabuik edisi 18 tahun 2014