Senin, 18 Juli 2011

Tak Selamanya Cinta Bahagia

  Dimuat dalam Nagaswara Magazine, Juli 2011



“Maaf ya sayang, Mas, ga bisa datang, soalnya hujan deras bangat ne! Ga papa kan sayang”
“Iya. Ga papa lagi sayang.”
“Maaf ya sayang, baru balas, soalnya Mas tadi ketiduran. Ini aja, baru bangun sayang. Maaf ya sayang!”
“Iya, ga pa pa lagi sayang.”
“Malam sayang, maaf ya sayang, aku baru bisa menghubungi kamu sekarang, tadi Mas ga ada pulsa. Ne aja baru beli pulsa sayang. Maaf ya sayang.”
Dan untuk kesekian kalinya kata maaf tertulis di layar ponselku, dan untuk kesekian kalinya pula aku memberikan maaf padanya.
Aku benar-benar tak bisa berkata lain, selain memberikan kata maaf untuknya.
Aku tak tahu, entah apa yang dia punya hingga aku bisa bertekuk di hadapannya.
Aku yang terkenal di depan teman-temanku, super cuek, tidak perhatian, dan tidak pedulian bisa tertaklukan oleh cowok yang usianya tiga tahun di bawahku.
Aku sekarang sudah kuliah tahun tiga, hari-hariku benar-benar disibukan oleh masalah kuliah, tapi entah kenapa untuk Dimas aku selalu punya waktu.
Ya. Nama cowok itu Dimas, aku suka memanggilnya dengan setengah suku kata saja, yaitu Mas, sebenarnya tidak bermaksud memanggil kakak sihc, tapi kebetulan saja kok. Ketika ia disibukan dengan ujian UAN dan UASnya, aku sudah berkutat dengan diktat-diktat di tahun tiga perkuliahan. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa dekat dengan dia. Awalnya begini, Dimas itu sering nongkrong dengan teman-temannya di warung tempat aku sering menunggu angkot ketika pulang dari kampus, tentu saja dengan seragam SMAnya. Karena kita hampir bertemu setiap hari, akhirnya kita dekat.
“ Baru pulang kuliah kak!” itulah kata pertamanya menyapaku.
“Iya neh!” ujarku memberikan senyuman termanis yang kupunya. Dan tak bisa ku pungkiri senyumnya telah memikat hatiku.
Sejak hari itu hingga selanjutnya, kami selalu bercerta-cerita tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami.
Aku tidak tahu kenapa aku merasa cocok dengan dia, apa pun yang kami bicarakan terasa nyambung, bahkan ke masalah kuliah dia mengerti. Melihat itu aku tidak heran, tak bisa dipungkiri anak SMA zaman sekarang sudah punya pemikiran luas, apalagi sekarang dunia informasi sudah berkembang, internet bisa diakses dimana-mana. Jadi aku tidak perlu terkejut apalagi merasa tersaingi. Dimas mampu mengimbangi, sekurang-kurangnya menyamakan pemikiranku walaupun aku sudah di tahun tiga perkuliahan.
***
Hari itu badanku panas. Aku memutuskan untuk tidak masuk kuliah, aku memilih beristirahat saja di rumah untuk menyiapkan kondisiku untuk beraktifitas esok harinya. Berarti siang itu aku tidak bertemu Dimas.
Senja itu langit sedang menampakan cahaya jingganya, aku yang tengah asyik tiduran di depan televisi. Tiba-tiba mendengar ponselku berdering. Sebuah SMS.
“Malam kak Shera, ini Dimas, tahu khan? Mas Cuma mau bilang udah segede ini sakit masih berani ngampirin kakak ya.. he.. Ga kok Cuma bercanda, jangan marah ya, ntar sakitnya ga sembuh lagi. Ya udah cepat sembuh ya kak, trus minum obat yang teratur, trus apa lagi ya, istirahat yang cukup. Udah itu aja deh. Semoga cepat sembuh ya kak!”
Wow, dia mengirimkan SMS begitu panjang, aku tidak tahu berapa ratus karakter yang telah ditulisnya, yang jelas aku merasa seolah membaca sebuah surat saja.
Aku tidak tahu, ia mendapatkan nomorku dari mana, apalagi sampai mengetahui aku sakit begini. Aku benar-benar suprice menerima perhatian itu. Aku tidak menyangka dia bisa memperhatikan aku sejelimet itu, padahal beberapa bulan kita kenal aku tidak pernah mau memberikan nomor telepon pada Dimas.
Ah. namun aku tidak mau ambil pusing, temanku banyak yang sama-sama menunggu angkot di halte itu, bisa saja dia menanyakan pada salah satu temanku di situ.
Untuk balasan SMSnya itu, seperti ini.
“Malam juga Dimas, iya kakak tahu ini Dimas khan? Kalau tidak salah kakak cuma punya satu adek ketek (minang. red) yang bernama Dimas dan ia orangnya ngeselin abiz dech!”
“Memangnya ngeselin gimana sich kak, dia sering gangguin kakak ya, sering nyubitin kakak ya! Bilang sama Mas donk, biar Mas tonjok dia! he…”
 “Iya, soalnya dia telah nyubitin hatiku.” balasku tanpa pikir panjang. He… kekanakan banget khan! Aku memang tidak seharusnya berkata begitu. Hal itu sama saja telah menjatuhkan martabat dan harga diriku di depan dia. Ceiile! Namun itu sudah terjadi, dan sejak saat itu kami selalu SMSan.
Kadang aku merasa tersanjung oleh perhatian-perhatianya. Aku merasa seolah mendapatkan seteguk air di gurun Sahara, maklumlah aku sudah setahun ngejomblo, bukannya tidak ada yang mau tapi belum ada chemistry saja kali.
Sampai suatu ketika Dimas mengirimkan SMS seperti ini.
“Saat ku ingin pejamkan mata yang terbayang olehku adalah wajahmu
Saat ku ingin membuka mata yang terbayang oleh ku hanyalah senyummu
Semua yang kulakukan hanya kamu dalam benakku
Ku coba untuk menghindar kutak bisa
Ku coba untuk mendekat, ku layu
Sekarang aku hanya bisa berkata
Kau memang gadis yang telah membuat aku gila
Semyummu, tawamu, tatapanmu membuat aku rindu.”
Gracius…, aku sangat tersanjung sekali, aku benar-benar terbang, serasa di awan. Entah kenapa aku senang sekali menerima SMS itu, walaupun tidak puitis-puitis banget, tapi aku suka, mungkin inilah yang dinamakan orang cinta kali ya. Lalu aku balas SMSnya.
“Apa kamu yakin dengan kata-katamu. Aku ingin kamu meyakinkan ku dengan sesuatu.”
“I wiil do what ever you want, just for you, night and nice dream honey.” Balasannya sungguh membuat jantungku tak berdegup untuk beberapa saat. Malam itu aku tertidur dengan senyum di hatiku. Dan kami pun jadian.
Siang itu cuaca sangat menyengat sekali. Dosen yang maha killer telah membuat suasana hatiku menjadi tidak enak hari itu. Kasur empuk ku satu-satunya yang terpikirkan oleh ku saat itu. Sesampai di halte, aku tak sempat untuk memperhatikan siapa yang ada disampingku.
“Oo. Jadi lu dah berhasil macarin anak kuliahan itu?” ujar sebuah suara di balik warung kecil di tepi jalan itu.
“Ya iya lah. Masak ya iya donk! Dimas Githu lho!” ujar sebuah suara yang sangat aku kenal.
“Berarti kami harus menyiapkan uang dan mentraktir lo makan gratis selama seminggu di kantin sekolah donk!”
“Jelas donk! Gw kan sudah membuktikan kalau gw bisa, sekarang janji kalian mana?” ujarnya.
Aku sungguh tak tahu harus berkata apa, spontan tanpa pikir panjang aku lemparkan sekaleng minuman yang sedang aku pegang ke arah cowok yang berbicara terakhir itu, selanjutnya aku bergegas naik angkot.
Aku melihat Dimas berusaha mengejarku, namun rasanya hatiku sudah tak mampu lagi dia kejar walau dengan kata-kata macam apa pun. Dan segera saja aku kirimkan SMS “Kita PUTUS”
Aku benar-benar kecewa, aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku menyadari cinta itu memang buta, seonggok sampah pun bila dilihat dengan cinta akan ada gunanya. Namun, untuk kali ini cinta telah menghancurkan segalanya. Ingin rasanya aku menyesal karena sudah tidak mendengar nasehat-nasehat sahabatku kalau ia bukan orang yang tepat untukku dan tidak berpikir matang untuk menerima cowok itu, namun aku tahu aku tak boleh menyesal.
Ini semua sudah terjadi, nasi sudah jadi bubur, walaupun cuma tiga minggu masa pacaran itu, tapi rasa ini sungguh membekas di hatiku. Aku dijadikan bahan permainan oleh anak kecil, aku tak pernah menyangka akan dijadikan bahan taruhan seperti itu. Aku benar-benar menyadari kegegabahanku. Dan dunia rasanya berputar di atas kepalaku.
Tiga hari aku tidak kuliah, aku dengar Dimas kecelakaan. Kata teman-temannya ia berusaha mengejarku saat kejadian itu untuk menjelaskan semua yang telah terjadi. Melalui teman-temannya pun aku tahu, kebersamaan kami telah membuat Dimas akhirnya benar-benar menyukaiku, namun hatiku telah benar-benar tertutup untuk itu. Biarlah ini berjalan sebagai mana biasanya. Aku tak yakin apa aku bisa kembali menerimanya, dan aku menyadari tak selamanya cinta itu bahagia. 
                        Agustus 2008
Pecundang cinta bertanya “Apakah masih ada cinta sejati di dunia?” Dan semoga kau mendapatkan apa yang kau pinta.

Perwujudan Pendidikan Karakter (Otak Cerdas, Karakter Baik)

Dimuat dalam Majalah Tabuik, Mei 2011


Saat ini, kita kerap kali melihat tayangan televisi memberitakan tentang tindakan-tindakan negatif. Mulai dari tawuran, penyerangan, penyalahgunaan narkoba, korupsi, kekejaman politik, mafia hukum, hingga pemberitaan seputar isu kebohongan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Seolah berita itu telah menjadi santapan sehari-hari yang terkadang membuat kita dipaksa untuk memahaminya. Bahkan yang lebih membuat  bulu roma merinding adalah pemberitaan negatif itu tidak hanya datang dari lembaga-lembaga independen lainnya, namun juga berasal dari instansi yang kita sebut dengan sekolah. Sebuah lembaga tempat terselenggaranya proses pendidikan. Contoh konkret, dalam hal penyelenggaraan ujian nasional. Guru sebagai pengawas diminta untuk tutup mulut, mata, dan telinga atas tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya untuk dilakukan.
Dan lebih menyedihkan lagi, teman saya bercerita bahwa salah seorang siswanya di sebuah sekolah dasar pernah mengungkapkan bahwa “Buat apa kita rajin-rajin belajar buk, toh.. tanpa itu, kita semua pasti akan lulus kan…? Ujar si anak. Seolah dari pernyataan anak tersebut dapat kita tangkap bahwa tanpa belajar keras pun, tanpa berusaha keras pun mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan “dibantu lulus” oleh pihak sekolah. Bayangkan, anak yang sekecil itu sudah memiliki paradigma yang salah terhadap konsep pendidikan.
Apa memang seperti ini karakter bangsa dewasa ini? Lalu mau dibawa kemana bangsa ini ke depan jika individu-individunya tidak lagi memiliki karakter. Bahkan orang dewasa, pejabat atau public figure yang seharusnya menjadi contoh teladan yang baik, ternyata sudah tidak mampu menunjukan perwujudan karakter dengan semestinya. Melihat kenyataan tersebut, kira-kira apa yang salah dalam konsep pendidikan kita sehingga karakter setiap individunya dari anak-anak hingga orang dewasa menjadi senang kecurangan, kebohongan dan tindak kekerasan.
Kalau kita cermati yang termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, nampaknya sudah jauh panggang dari api. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, berdasarkan UU tersebut harus mampu mewujudkan pendidikan yang tidak hanya mementingkan kecerdasan otak saja, melainkan kecerdasan otak disertai karakter yang baik. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan. Perwujudan dari karakter itu dapat dilihat dari sikap, pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan berlandaskan norma agama, hukum, sosial, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan yang berlandaskan karakter, menurut Akmad Sudrajat adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah (setiap individu) yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Jadi, pendidikan yang dilandasi pendidikan karakter akan mempersiapkan anak didik untuk mampu bertindak sebagai makhluk individu maupun sosial.
 Lebih lanjut Akmad juga menuturkan peserta didik (individu) yang berkarakter adalah individu yang mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan, dan mampu berinteraksi dengan masyarakat.
Untuk itu, perwujudan pendidikan karakter harus dilakukan sedini mungkin. Dimulai dari keluarga kemudian dilanjutkan pada lembaga pendidikan dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Sekolah sebagai salah satu komponen pendidikan harus benar-benar berperan aktif dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter anak didiknya. Bila perlu sekolah harus merumuskan program atau kurikulum yang menunjang memaksimalkan pembangunan karakter anak didik. Mulai dari isi kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pemberdayaan sarana prasarana, dan etos kerja seluruh warga sekolah harus dilibatkan dan dioptimalkan fungsinya guna mewujudkan proses pendidikan karakter. Selanjutnya, guru sebagai pendidik pun harus senantiasa bekerja sama dengan orang tua dalam rangka menerapkan kebiasaan dan memberikan teladan yang baik kepada anak. Sebagaimana Joseph Joubert menuturkan, anak-anak lebih membutuhkan panutan, bukan kecaman.
Begitu juga, pemerintah dan semua pihak terkait sudah sepantasnya memberikan perhatian khusus pada hal tersebut, sebab karakter anak bangsa akan menentukan masa depan bangsa kelak. Pendidikan jangan terlalu berkutat pada hasil dengan diadakanya ujian nasional, tetapi hendaknya berorientasi kepada proses pendidikan itu sendiri. Sebab pendidikan dinilai dari proses bukan pada hasil.***
Mira Elfia, S.Pd* 
Penulis adalah Guru MTsN VII Koto dan Penyiar Radio Dhara FM Pariaman