Senin, 18 Juli 2011

Tak Selamanya Cinta Bahagia

  Dimuat dalam Nagaswara Magazine, Juli 2011



“Maaf ya sayang, Mas, ga bisa datang, soalnya hujan deras bangat ne! Ga papa kan sayang”
“Iya. Ga papa lagi sayang.”
“Maaf ya sayang, baru balas, soalnya Mas tadi ketiduran. Ini aja, baru bangun sayang. Maaf ya sayang!”
“Iya, ga pa pa lagi sayang.”
“Malam sayang, maaf ya sayang, aku baru bisa menghubungi kamu sekarang, tadi Mas ga ada pulsa. Ne aja baru beli pulsa sayang. Maaf ya sayang.”
Dan untuk kesekian kalinya kata maaf tertulis di layar ponselku, dan untuk kesekian kalinya pula aku memberikan maaf padanya.
Aku benar-benar tak bisa berkata lain, selain memberikan kata maaf untuknya.
Aku tak tahu, entah apa yang dia punya hingga aku bisa bertekuk di hadapannya.
Aku yang terkenal di depan teman-temanku, super cuek, tidak perhatian, dan tidak pedulian bisa tertaklukan oleh cowok yang usianya tiga tahun di bawahku.
Aku sekarang sudah kuliah tahun tiga, hari-hariku benar-benar disibukan oleh masalah kuliah, tapi entah kenapa untuk Dimas aku selalu punya waktu.
Ya. Nama cowok itu Dimas, aku suka memanggilnya dengan setengah suku kata saja, yaitu Mas, sebenarnya tidak bermaksud memanggil kakak sihc, tapi kebetulan saja kok. Ketika ia disibukan dengan ujian UAN dan UASnya, aku sudah berkutat dengan diktat-diktat di tahun tiga perkuliahan. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa dekat dengan dia. Awalnya begini, Dimas itu sering nongkrong dengan teman-temannya di warung tempat aku sering menunggu angkot ketika pulang dari kampus, tentu saja dengan seragam SMAnya. Karena kita hampir bertemu setiap hari, akhirnya kita dekat.
“ Baru pulang kuliah kak!” itulah kata pertamanya menyapaku.
“Iya neh!” ujarku memberikan senyuman termanis yang kupunya. Dan tak bisa ku pungkiri senyumnya telah memikat hatiku.
Sejak hari itu hingga selanjutnya, kami selalu bercerta-cerita tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami.
Aku tidak tahu kenapa aku merasa cocok dengan dia, apa pun yang kami bicarakan terasa nyambung, bahkan ke masalah kuliah dia mengerti. Melihat itu aku tidak heran, tak bisa dipungkiri anak SMA zaman sekarang sudah punya pemikiran luas, apalagi sekarang dunia informasi sudah berkembang, internet bisa diakses dimana-mana. Jadi aku tidak perlu terkejut apalagi merasa tersaingi. Dimas mampu mengimbangi, sekurang-kurangnya menyamakan pemikiranku walaupun aku sudah di tahun tiga perkuliahan.
***
Hari itu badanku panas. Aku memutuskan untuk tidak masuk kuliah, aku memilih beristirahat saja di rumah untuk menyiapkan kondisiku untuk beraktifitas esok harinya. Berarti siang itu aku tidak bertemu Dimas.
Senja itu langit sedang menampakan cahaya jingganya, aku yang tengah asyik tiduran di depan televisi. Tiba-tiba mendengar ponselku berdering. Sebuah SMS.
“Malam kak Shera, ini Dimas, tahu khan? Mas Cuma mau bilang udah segede ini sakit masih berani ngampirin kakak ya.. he.. Ga kok Cuma bercanda, jangan marah ya, ntar sakitnya ga sembuh lagi. Ya udah cepat sembuh ya kak, trus minum obat yang teratur, trus apa lagi ya, istirahat yang cukup. Udah itu aja deh. Semoga cepat sembuh ya kak!”
Wow, dia mengirimkan SMS begitu panjang, aku tidak tahu berapa ratus karakter yang telah ditulisnya, yang jelas aku merasa seolah membaca sebuah surat saja.
Aku tidak tahu, ia mendapatkan nomorku dari mana, apalagi sampai mengetahui aku sakit begini. Aku benar-benar suprice menerima perhatian itu. Aku tidak menyangka dia bisa memperhatikan aku sejelimet itu, padahal beberapa bulan kita kenal aku tidak pernah mau memberikan nomor telepon pada Dimas.
Ah. namun aku tidak mau ambil pusing, temanku banyak yang sama-sama menunggu angkot di halte itu, bisa saja dia menanyakan pada salah satu temanku di situ.
Untuk balasan SMSnya itu, seperti ini.
“Malam juga Dimas, iya kakak tahu ini Dimas khan? Kalau tidak salah kakak cuma punya satu adek ketek (minang. red) yang bernama Dimas dan ia orangnya ngeselin abiz dech!”
“Memangnya ngeselin gimana sich kak, dia sering gangguin kakak ya, sering nyubitin kakak ya! Bilang sama Mas donk, biar Mas tonjok dia! he…”
 “Iya, soalnya dia telah nyubitin hatiku.” balasku tanpa pikir panjang. He… kekanakan banget khan! Aku memang tidak seharusnya berkata begitu. Hal itu sama saja telah menjatuhkan martabat dan harga diriku di depan dia. Ceiile! Namun itu sudah terjadi, dan sejak saat itu kami selalu SMSan.
Kadang aku merasa tersanjung oleh perhatian-perhatianya. Aku merasa seolah mendapatkan seteguk air di gurun Sahara, maklumlah aku sudah setahun ngejomblo, bukannya tidak ada yang mau tapi belum ada chemistry saja kali.
Sampai suatu ketika Dimas mengirimkan SMS seperti ini.
“Saat ku ingin pejamkan mata yang terbayang olehku adalah wajahmu
Saat ku ingin membuka mata yang terbayang oleh ku hanyalah senyummu
Semua yang kulakukan hanya kamu dalam benakku
Ku coba untuk menghindar kutak bisa
Ku coba untuk mendekat, ku layu
Sekarang aku hanya bisa berkata
Kau memang gadis yang telah membuat aku gila
Semyummu, tawamu, tatapanmu membuat aku rindu.”
Gracius…, aku sangat tersanjung sekali, aku benar-benar terbang, serasa di awan. Entah kenapa aku senang sekali menerima SMS itu, walaupun tidak puitis-puitis banget, tapi aku suka, mungkin inilah yang dinamakan orang cinta kali ya. Lalu aku balas SMSnya.
“Apa kamu yakin dengan kata-katamu. Aku ingin kamu meyakinkan ku dengan sesuatu.”
“I wiil do what ever you want, just for you, night and nice dream honey.” Balasannya sungguh membuat jantungku tak berdegup untuk beberapa saat. Malam itu aku tertidur dengan senyum di hatiku. Dan kami pun jadian.
Siang itu cuaca sangat menyengat sekali. Dosen yang maha killer telah membuat suasana hatiku menjadi tidak enak hari itu. Kasur empuk ku satu-satunya yang terpikirkan oleh ku saat itu. Sesampai di halte, aku tak sempat untuk memperhatikan siapa yang ada disampingku.
“Oo. Jadi lu dah berhasil macarin anak kuliahan itu?” ujar sebuah suara di balik warung kecil di tepi jalan itu.
“Ya iya lah. Masak ya iya donk! Dimas Githu lho!” ujar sebuah suara yang sangat aku kenal.
“Berarti kami harus menyiapkan uang dan mentraktir lo makan gratis selama seminggu di kantin sekolah donk!”
“Jelas donk! Gw kan sudah membuktikan kalau gw bisa, sekarang janji kalian mana?” ujarnya.
Aku sungguh tak tahu harus berkata apa, spontan tanpa pikir panjang aku lemparkan sekaleng minuman yang sedang aku pegang ke arah cowok yang berbicara terakhir itu, selanjutnya aku bergegas naik angkot.
Aku melihat Dimas berusaha mengejarku, namun rasanya hatiku sudah tak mampu lagi dia kejar walau dengan kata-kata macam apa pun. Dan segera saja aku kirimkan SMS “Kita PUTUS”
Aku benar-benar kecewa, aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Aku menyadari cinta itu memang buta, seonggok sampah pun bila dilihat dengan cinta akan ada gunanya. Namun, untuk kali ini cinta telah menghancurkan segalanya. Ingin rasanya aku menyesal karena sudah tidak mendengar nasehat-nasehat sahabatku kalau ia bukan orang yang tepat untukku dan tidak berpikir matang untuk menerima cowok itu, namun aku tahu aku tak boleh menyesal.
Ini semua sudah terjadi, nasi sudah jadi bubur, walaupun cuma tiga minggu masa pacaran itu, tapi rasa ini sungguh membekas di hatiku. Aku dijadikan bahan permainan oleh anak kecil, aku tak pernah menyangka akan dijadikan bahan taruhan seperti itu. Aku benar-benar menyadari kegegabahanku. Dan dunia rasanya berputar di atas kepalaku.
Tiga hari aku tidak kuliah, aku dengar Dimas kecelakaan. Kata teman-temannya ia berusaha mengejarku saat kejadian itu untuk menjelaskan semua yang telah terjadi. Melalui teman-temannya pun aku tahu, kebersamaan kami telah membuat Dimas akhirnya benar-benar menyukaiku, namun hatiku telah benar-benar tertutup untuk itu. Biarlah ini berjalan sebagai mana biasanya. Aku tak yakin apa aku bisa kembali menerimanya, dan aku menyadari tak selamanya cinta itu bahagia. 
                        Agustus 2008
Pecundang cinta bertanya “Apakah masih ada cinta sejati di dunia?” Dan semoga kau mendapatkan apa yang kau pinta.

Perwujudan Pendidikan Karakter (Otak Cerdas, Karakter Baik)

Dimuat dalam Majalah Tabuik, Mei 2011


Saat ini, kita kerap kali melihat tayangan televisi memberitakan tentang tindakan-tindakan negatif. Mulai dari tawuran, penyerangan, penyalahgunaan narkoba, korupsi, kekejaman politik, mafia hukum, hingga pemberitaan seputar isu kebohongan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Seolah berita itu telah menjadi santapan sehari-hari yang terkadang membuat kita dipaksa untuk memahaminya. Bahkan yang lebih membuat  bulu roma merinding adalah pemberitaan negatif itu tidak hanya datang dari lembaga-lembaga independen lainnya, namun juga berasal dari instansi yang kita sebut dengan sekolah. Sebuah lembaga tempat terselenggaranya proses pendidikan. Contoh konkret, dalam hal penyelenggaraan ujian nasional. Guru sebagai pengawas diminta untuk tutup mulut, mata, dan telinga atas tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya untuk dilakukan.
Dan lebih menyedihkan lagi, teman saya bercerita bahwa salah seorang siswanya di sebuah sekolah dasar pernah mengungkapkan bahwa “Buat apa kita rajin-rajin belajar buk, toh.. tanpa itu, kita semua pasti akan lulus kan…? Ujar si anak. Seolah dari pernyataan anak tersebut dapat kita tangkap bahwa tanpa belajar keras pun, tanpa berusaha keras pun mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan “dibantu lulus” oleh pihak sekolah. Bayangkan, anak yang sekecil itu sudah memiliki paradigma yang salah terhadap konsep pendidikan.
Apa memang seperti ini karakter bangsa dewasa ini? Lalu mau dibawa kemana bangsa ini ke depan jika individu-individunya tidak lagi memiliki karakter. Bahkan orang dewasa, pejabat atau public figure yang seharusnya menjadi contoh teladan yang baik, ternyata sudah tidak mampu menunjukan perwujudan karakter dengan semestinya. Melihat kenyataan tersebut, kira-kira apa yang salah dalam konsep pendidikan kita sehingga karakter setiap individunya dari anak-anak hingga orang dewasa menjadi senang kecurangan, kebohongan dan tindak kekerasan.
Kalau kita cermati yang termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, nampaknya sudah jauh panggang dari api. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, berdasarkan UU tersebut harus mampu mewujudkan pendidikan yang tidak hanya mementingkan kecerdasan otak saja, melainkan kecerdasan otak disertai karakter yang baik. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan. Perwujudan dari karakter itu dapat dilihat dari sikap, pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan berlandaskan norma agama, hukum, sosial, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan yang berlandaskan karakter, menurut Akmad Sudrajat adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah (setiap individu) yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Jadi, pendidikan yang dilandasi pendidikan karakter akan mempersiapkan anak didik untuk mampu bertindak sebagai makhluk individu maupun sosial.
 Lebih lanjut Akmad juga menuturkan peserta didik (individu) yang berkarakter adalah individu yang mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan, dan mampu berinteraksi dengan masyarakat.
Untuk itu, perwujudan pendidikan karakter harus dilakukan sedini mungkin. Dimulai dari keluarga kemudian dilanjutkan pada lembaga pendidikan dari yang paling rendah hingga paling tinggi. Sekolah sebagai salah satu komponen pendidikan harus benar-benar berperan aktif dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter anak didiknya. Bila perlu sekolah harus merumuskan program atau kurikulum yang menunjang memaksimalkan pembangunan karakter anak didik. Mulai dari isi kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pemberdayaan sarana prasarana, dan etos kerja seluruh warga sekolah harus dilibatkan dan dioptimalkan fungsinya guna mewujudkan proses pendidikan karakter. Selanjutnya, guru sebagai pendidik pun harus senantiasa bekerja sama dengan orang tua dalam rangka menerapkan kebiasaan dan memberikan teladan yang baik kepada anak. Sebagaimana Joseph Joubert menuturkan, anak-anak lebih membutuhkan panutan, bukan kecaman.
Begitu juga, pemerintah dan semua pihak terkait sudah sepantasnya memberikan perhatian khusus pada hal tersebut, sebab karakter anak bangsa akan menentukan masa depan bangsa kelak. Pendidikan jangan terlalu berkutat pada hasil dengan diadakanya ujian nasional, tetapi hendaknya berorientasi kepada proses pendidikan itu sendiri. Sebab pendidikan dinilai dari proses bukan pada hasil.***
Mira Elfia, S.Pd* 
Penulis adalah Guru MTsN VII Koto dan Penyiar Radio Dhara FM Pariaman

Minggu, 20 Februari 2011

Blog hamba: Jangan main-main friends!

Blog hamba: Jangan main-main friends!: "Pernah ga’ sih kamu menjalin sebuah hubungan pacaran yang niat awalnya hanya untuk main-main atau ber..."

Jangan main-main friends!


Pernah ga’ sih kamu menjalin sebuah hubungan pacaran yang niat awalnya hanya untuk main-main atau bermodalkan coba-coba saja? Kalau pernah jangan lagi dech. Bagi yang sudah pernah melakukannya tentu telah merasakan bagaimana dampak fositif maupun negatifnya. Tapi menurut saya lebih banyak dampak negatifnya deh. Iya khan?
Bagi kamu yang sedang menjalani hubungan seperti ini, yang niat awal pacarannya hanya untuk jaga gengsi kamu aja, atau karena ditantang oleh seorang teman, atau juga karena kamu malu sama teman-teman soalnya diantara mereka hanya  kamu sendiri yang belum punya pacar!
Ternyata, kalau memang ini yang kamu rasakan, lebih baik sekarang mulai intropeksi deh. Jika kamu sudah terlanjur melakukan ini, selami hatimu dan gunakan logika apa yang sudah kamu lakukan ini terbaik untuk kamu, atau apakah dengan tindakan kamu ini nantinya tidak akan menyakiti diri kamu dan korban kamu itu, terlalu sadis ya bahasanya..he.. (maksudnya orang yang jadi pacar kamu, red).
Jangan sampai kita menyesal dengan apa yang sudah kita rasakan dan lakukan. Karena kamu tidak serius, setiap kamu pacaran hanya bartahan seumur jagung saja, karena gengsi lagi, lalu kamu cari pacar lagi. Kalau ini sering terjadi imeg kamu di depan teman-teman kamu akan jelek. Kamu akan dicap sebagai seorang playgirl yang sering gonta-ganti cowok (ga’ maukan dibilang seperti itu?).
 Pacaran yang awalnya hanya untuk main-main, ternyata setelah putus barulah kita merasakan kalau kita itu sayang. Uniknya kita baru menyadari kalau kita putus itu atas kesalahan kita yang tidak serius menjalani hubungan itu. Sama halnya jika kita tidak serius mencintai sesuatu maka dikala dia tidak kita miliki lagi, maka kita akan merasa sangat kehilangan. Kita akan membutuhkan setelah kita kehilangannya.
Begitu juga dalam berpacaran, jika kita tidak benar-benar sayang sama dia dan kita tidak yakin dia terbaik untuk kita. Maka jangan coba-coba untuk menerima dia menjadi pacar kita. Apalagi kalau dia bukan tipe yang kita inginkan. Pepatah Jawa ada mengatakan “Cinta bisa datang karena sering bertemu”. Disaat cinta itu datang, kita tidak menyadari bahwa dia telah berada dihati kita. Kita tetap tidak serius menjalani hubungan itu. Kemudian setelah semuanya berakhir karena pasangan kita telah bosan dan muak dengan sikap kita, barulah kita tahu kalau kita telah benar-banar sayang sama dia.
Kita menjadi cinta karena sering bertemu, Inilah mungkin yang tidak kita sadari. Lama-kelamaan tumbuh rasa membutuhkan kita terhadap dirinya dan saat dia pergi maka kita akan kehilangannya.
Untuk itu, mulai sekarang cobalah untuk serius dan tidak main-main dalam berhubungan. Pahami kelebihan dan kekurangannya, bahkan cobalah untuk mencintai kekurangan pasangan kita itu, yakinlah bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Ingat…! Kesempurnaan adalah sesuatu yang dicintai, namun mencintai sesuatu yang tidak sempurna akan lebih mulia jika kesempurnaan cinta mampu membuatnya menjadi sempurna. Key. Good Luck…
So… Jangan pernah main-main…..                                    
By Mira Elfia

Senin, 14 Februari 2011

BINTANG ITU


Sekarang aku akan bercerita kepadamu tentang kisah cinta Bintang terhadap Bulan.
Suatu hari sebuah Bintang bicara pada Bulan “Aku tidak ingin lagi menemanimu mulai malam ini dan seterusnya.” Katanya.
“Kenapa?” tanya Bulan, “Padahal aku menyukaimu, aku nyaman bila kau ada di sampingku, aku senang pada malam-malam dimana kau ada dan menemaniku hingga fajar menjelang.”
Tetapi Bintang itu hanya tersenyum, meredup dan bersembunyi di balik mega. Justru karena Bulan menyukainya, Bintang itu menghilang.
Cinta memang aneh, bukankah seharusnya ia mempersatukan? Bintang itu mencintai Bulan. Tetapi Bulan tidak mencintainya, ia hanya ‘menyukainya’. Siapa pula yang membeda-bedakan cinta dengan suka?
Kenapa Bulan tidak membencinya saja, malah menyukainya sehingga Bintang menjadi tidak punya alasan untuk tidak menemaninya pada malam-malam harinya.
Bintang yang sinarnya paling terang adalah bintang yang berwarna biru.
Bintang yang sedang kuceritakan ini hanyalah sebuah bintang kecil yang bewarna merah. Karena itu ia tidak pernah dapat mengumpulkan keberanian untuk berkata pada Bulan “Aku mencintaimu!” atau “Aku menginginkanmu!”.
Bulan sendiri tidak pernah menganggap Bintang sebagai lebih dari sahabat baik, teman dekat yag selalu menemaninya setiap malam, dan sesungguhnya Bintang pun mengetahui itu.
“Aku mencintai Matahari” kata Bulan. “Ia dapat membuatku bersinar indah di waktu malam. Ia membuatku selalu ditunggu para pecinta malam. Ia membuatku selalu dinanti para pujangga yang ingin menulis bait puisi hanya dengan melihatku.” Ujar Bulan menjelaskan.
Bintang tak pernah habis berpikir kenapa Bulan mencintai Matahari, Bulan jarang bahkan hampir tak pernah bertemu dengan Matahari, dan ketika bertemu pun Bulan akan kehilangan sinarnya, yaitu saat terjadi gerhana bulan.
Mungkin Matahari malah mencintai Bumi. Aku tidak tahu karena aku tidak pernah berbincang-bincang dengan Matahari bahkan aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi sejujurnya aku tidak terlalu mempedulikan ini.
Bintang merasa tidak mendapat keadilan. Kenapa Bulan mencintai Matahari yang mungkin tidak pernah memikirkan Bulan, dan bukan mencintai Bintang yang jelas-jelas mencintainya dengan sepenuh hati? Bintang juga merasa tak berdaya, kerana walaupun ia ingin memberikan seluruh sinarnya kepada Bulan agar selalu bercahaya kemilau, Bintang tak dapat melakukanya karena memang dia tak tahu caranya dan jarak diantara mereka sangat jauh.
Matahari sebenarnya juga Bintang, bintang merah yang sama seperti dirinya. Karena letaknya lah Matahari dapat terlihat lebih terang dari pada Bintang.
Tapi Bintang bukanlah Matahari, karena itu Bulan tidak mencintai Bintang.
Cinta memang aneh. Karena itu sekali lagi Bintang berkata pada semua teman-temannya “Aku tidak ingin lagi menemani Bulan mulai malam ini!”.
Tapi ternyata pada malam-malam berikutnya, Bintang masih dengan setia menemaninya, meski terkadang Bulan tidak menyadarinya.
Dan sekarang aku akan memberi tahu, bahwa BINTANG ITU ADALAH AKU.
        
    Kamar Koe, 16 Des 2009. By Fhiya
dari berbagai sumber

Kamu Seperti Angin

“Dit, ke sekretariat BEM sekarang, ya...” rengekku manja di telepon, ”aku lagi sendirian di sini…!”
“Iya... Insya Allah lima belas menit lagi sampai, tunggu sebentar lagi, okey.” suara khasnya menggema di telingaku.
“kalau telat, awas...” Ancamku, biasanya Adit kalau sudah aku ancam seperti itu, maka tidak cukup lima belas menit, dia akan hadir di hadapanku. Kalau tidak, lima belas menit bisa jadi satu jam.
“Iya…iya… cerewet sekali sih, pokok e tunggu aja!” balas Adit diseberang sana yang belum bisa menghilangkan logat Piamannya.
Pantai Cermin Kota Pariaman, Sumatera Barat




”Cepat ya”. Tap. Suara gagang telepon ditutup diseberang sana.
Kuhela nafasku sambil menyandarkan tubuh di kursi depan komputerku, entah kenapa otakku mengelinding kembali mengingat memori tentang pertemuan pertamaku dengan Adit yang cukup mengesalkan.
Yah…aku ingat, di sekre BEM awal pertemuanku. Ketika itu, aku mengikuti rapat kerja pengurus BEM yang baru setelah diadakan open recruitment. Hampir setengah jam waktu berlalu, belum ada tanda-tanda rapat akan dimulai. Tiba-tiba teman-teman tersenyum ketika melihat sesosok makhluk yang baru datang.
“Gimana Ajo ini ha, telat lagi telat lagi.” Celetuk seorang teman.
“Iya, makanya bagi-bagi dong proyeknya, jangan makan surang se, ya nggak friend…?” seloroh yang lain.
“Tenang friend, keterlambatan Ambo sekarang karena gejala alam, ban motor ojeknya bocor.” Jawabnya dengan tawa tanpa dosa, melihat tingkahnya itu, aku jadi sangat kesal, dia masih enak tertawa tanpa rasa berdosa, setelah membuat semua orang menunggu, tapi yang aku heran, tidak ada seorangpun yang kesal seperti aku kesal padanya. Entah Kharisma apa yang ada padanya.
 Tidak berapa lama rapat pun dimulai. Pada agenda taaruf, baru kutau kalau makhluk itu bernama Alfatar Nugraho, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia BP 2003, dengan panggilan Adit. Sama dengan sikapnya yang aneh, panggilannya pun aneh, soalnya tidak nyambung dengan namanya.
Tiba-tiba pandanganku tertumpu pada monitor komputer di depanku, dan langsung sadar kalau cerpenku menunggu kelanjutannya. aku tekan keyboard komputerku  kembali untuk menyelesaikan cerpen yang belum kelar-kelar juga.
“...aku harus mencoba untuk bangkit, aku tidak akan terpuruk walau kau meninggalkanku, aku percaya akan ada  laki-laki lain yang lebih baik darimu, untukku”.
“Assalamualaikum…” kata seseorang di depan pintu dekat komputerku.
“Waalaikumsalam…” aku menjawab tanpa menoleh ke arah sumber suara dan masih sibuk saja mengedit dan menyimpan data yang telah ku ketik tadi.
“Maaf, mau cari si…?” aku menoleh dan tiba-tiba kerongkonganku tersekat, aku tidak bisa melanjutkan kata-kata setelah melihat sesosok tubuh yang berdiri di depan pintu, yang pernah, bukan… bukan….
Belum sampai urat sarafku berjalan dengan maksimal, dia menyentakanku.
“Cici..” sapanya membuatku tersentak dari lamunan sesaat.
“Oh ya, silahkan masuk,” ujarku. “Maaf, ruangannya sedikit berantakan,” Basa-basiku padanya yang mungkin sudah basi juga. Tanpa menoleh, aku beranjak merapikan ruangan sekretariat yang seperti kapal pecah ini secepat mungkin, secepat aku bisa menguasai hatiku dari tebaran kenangan indah yang terus menyesak jiwa. kemudian menuju dapur sekretariat untuk membuatkannya secangkir teh.
“Silahkan diminum! Oya, ada yang bisa aku bantu”. Ujarku.
“Cici...” katanya mencoba membuyarkan lamunanku.
“Iya, apa kabar?” Ujarku mencoba mencairkan suasana
“Apa kamu masih marah padaku, mengenai masalah yang…?” Katanya.
“Marah? Kenapa musti marah?” potongku, “Memangnya aku kelihatan seperti orang yang sedang marah!” Ujarku menimpali tanpa memberi dia waktu untuk melanjutkan kata-katanya yang kutahu bisa membuat hati ini perih lagi.
Dia terdiam, menunduk. Sesaat kumelihat wajahnya. Tampaklah olehku rona kesedihan di wajahnya, walaupun aku melihat tidak cukup jelas, tapi aku dapat merasakan kepedihan yang mendalam, lama… lama sekali terpendam.
“Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu”. Kata-katanya itu kembali membuatku teringat peristiwa tahun lalu. Dia memutuskanku, memutuskan hubungan yang sudah cukup lama berjalan, hanya karena masalah yang kuanggap terlalu dibesar-besarkan, dan yang paling membuatku kesal dia memutuskanku  hanya melalui sebuah Short Message.
“Keluargaku ingin yang terbaik, dan aku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Sekarang aku ingin kamu yang memutuskan semuanya karena aku tidak mau menyakiti kamu, masih banyak laki-laki lain yang lebih baik untukmu”.
Berulangkali kubaca pesan itu untuk meyakinkan diri ini. Aku sangat terkejut. Hati dan pikiranku tidak percaya dengan kenyataan yang kuterima. Aku sangat menyayanginya dan aku juga yakin dia sangat menyayangiku. Ya, aku sadar, kalau hubungan kami tidak berjalan dengan normal, kita hanya bisa berjumpa lewat suara, tanpa bisa bertemu walau hanya untuk menatap wajah teduhnya. Aku juga ingat, dia pernah mengatakan bahwa hubungan kami tidak disetujui orang tuanya. Aku tahu itu, orang tuanya pasti tidak mau kuliah anaknya terganggu oleh hubungan kami, apalagi ditambah dengan biaya interlokal sekurang-kurangnya dua kali dalam seminggu yang dikeluarkan oleh anaknya. Yah, hubungan jarak jauh.
Sekarang dia kembali hadir di hadapanku, setelah sekian lama pergi demi meraih cita-citanya kuliah di kota metropolitan yang banyak terdapat godaan itu. Sekarang apa yang harus kulakukan? oh.. Tuhan, tolonglah aku!
“Ci…maafkan Iyo!” desah cowok itu. Yah.. nama cowok itu Rio, tapi dia biasa memanggil dirinya Iyo, begitu juga aku namaku Melci tapi aku suka dipanggil Cici.
“Ci… sorry, aku tidak sedikitpun bermaksud untuk menyakiti hati ici, tapi….”
“Ah…sudahlah Yo!” Kataku, memutuskan pembicaraanya. Dia masih plin-plan seperti dulu, tidak bisa menetapkan sapaan dirinya. Kadang memanggil “Iyo”, kadang pakai “Aku”. “Yo... masalah itu tidak perlu dibicarakan lagi, kita sudah memilih jalan kita masing-masing.”
“Tapi Ci…” bantah Rio, “Kamu tidak tahu perasaanku waktu itu, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
“Sudahlah..Yo, tak ada gunanya kamu mengungkit masalah itu lagi Toh, tidak akan merubah kenyataankan?”
“Ci…. Aku mencintaimu.” Desahnya pelan.
Tiba-tiba dia memegang tanganku, meremas jemariku, dan menatapku dengan tatapan elangnya.
“Ci…, aku kacau, aku tak tahu harus berbuat apa ketika mama menyuruhku untuk memutuskanmu. Hatiku lebur berkeping saat itu.
Aku hanya bisa tertunduk mendengar penuturan mantan kekasihku itu.
“Ci, sampai sekarang, aku belum bisa mendapatkan pengganti dirimu, tapi aku yakin kamu sudah mendapatkan pengganti diriku.” Sambungnya dengan desahan yang panjang dan suara sedikit bergetar.
Aku hanya mampu menunduk, desahan yang keluar dari bibirnya itu, semakin membuatku merasa sedih, dan memaksaku mengeluarkan butiran mutiara bening yang sejak tadi kucoba untuk membendungnya.
“Itulah sebabnya aku memutuskanmu lewat SMS, aku tidak sanggup menatap butiran air mata membasahi pipimu. Bagiku, kau cewek terbaik yang pernah kukenal.”
Aku luluh, aku terpedaya oleh ucapannya apalagi mendengars desahan jiwanya yang meronta. Tapi cepat aku sadar, karena sekarang aku sudah memiliki Adit, orang yang selama ini menyayangiku dengan ketulusan dan menghiasi hari-hariku dengan senyum dan kekonyolannya serta pemikirannya yang topcer abizz. Aku yakinkan hatiku, perasaan ini tidak boleh berlarut dalam diriku. Aku harus kuat. Tiba-tiba hentakan keras dalam hatiku membuatku tersentak dan sadar. Kutarik tanganku dari genggamanya, kuhapus air mataku dan kucoba untuk menguasai diri kembali.
Pikiranku berkecamuk, aku teringat teori keep your eyes contact plus smile yang kubaca di buku ESQ Powernya Ary Ginanjar. Badan kutegakkan, dorong beberapa senti ke depan. Kuberanikan diri untuk menatap matanya dengan tatapan soft, kutarik nafas dan dengan senyum kuberkata: “Yo, masalah ini jangan dibicarakan lagi, Ci pikir jalan kita sudah berbeda. Kita tidak mungkin lagi bersama, Yo sudah memilih mengakhiri hubungan kita. maka Yo harus menerima resiko dari setiap tindakan itu, “ Hidup itu penuh resiko, jika kita tak mau menghadapi resiko, berarti kita tidak hidup.” Deg. Sebuah kalimat pamungkas yang kudapatkan dari Adit ketika dia mencoba mengangkatku dari keterpurukan.
Rio langsung mendongakan wajah, “Aku tahu kamu sudah tidak mencintaiku lagikan,” ujarnya. Kemudian dia langsung membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop yang ditujukan untuk sekre BEM kampusku. Tiba-tiba dia beranjak pergi tanpa bicara sepatah katapun meninggalkanku dalam kebingungan, apa gunanya dia mengatakan cinta, kalau toh akan seperti ini. Rio…Rio…aku benar-benar telah merasakan perubahan yang amat sangat dalam dirimu. Kamu seperti angin yang menyejukkanku sesaat, serta yang bisa membuatku terpedaya jikaku tak waspada.
Ting..ting.. aku tiba-tiba mendengar bunyi HP, sebuah Sony Ericson tipe terbaru tergeletak persis dimana Rio duduk tadi, kuambil HP itu rupanya 1 message receive tertera dalam layar ponselnya dan aku sudah tidak kuasa lagi untuk tidak membuka SMS tersebut.
“Sayang…kamu lagi dimana? Dah ma’am belum? Oya suratnya dah dianterinkan? Good luck.. l luv u.”
Wow… Rio, aku tahu siapa dirimu sekarang, untung saja aku tidak terpedaya, jauh di ujung jalan aku melihat Adit menuju kearahku.***(Fia)